Dibalik Konten Sensual Perempuan di Media Sosial, Antara Ekspresi Diri dan Jerat Objektifikasi
Di era digital, media sosial menjadi panggung bagi perempuan untuk mengekspresikan diri, termasuk melalui konten yang dianggap sensual. Namun, di balik popularitas dan daya tariknya, konten tersebut sering kali menuai komentar yang jauh dari edukatif, bahkan cenderung melecehkan. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kompleksitas relasi gender di ruang digital, tetapi juga menyingkap realitas bagaimana masyarakat masih terjebak dalam norma patriarki yang mengobjektifikasi tubuh perempuan.
1. Konten Sensual sebagai Ruang Ekspresi dan Monetisasi
Bagi banyak perempuan, media sosial seperti TikTok dan Instagram menjadi sarana untuk mengeksplorasi identitas, termasuk melalui konten tarian atau penampilan yang dinamis. Sebagian kreator memanfaatkannya sebagai peluang ekonomi, mengikuti tren algoritma yang kerap mendukung konten viral berbasis visual. Misalnya, akun @queen_ofp di TikTok yang menampilkan perempuan berhijab bergoyang energik, meski menuai pro-kontra, justru mendapatkan jutaan pengikut karena daya tarik visualnya .
Namun, ekspresi ini tidak lepas dari kritik. Dosen Komunikasi UGM, Dr. Dian Arymami, menyebut bahwa media sosial kerap mendorong "objektifikasi diri", di mana perempuan secara tidak sadar menyesuaikan konten dengan standar kecantikan yang diidealkan untuk meraih perhatian.
2. Komentar Netizen: Dari Seksisme hingga Pelecehan
Konten sensual perempuan kerap dibanjiri komentar yang tidak edukatif, seperti candaan seksis, hinaan, atau bahkan ancaman. Analisis kolom komentar di TikTok menunjukkan bahwa perempuan sering diposisikan sebagai "objek seksual", dianggap "rapuh", atau dipaksa mengikuti norma pernikahan dan peran domestik. Contohnya, komentar seperti "pulen" atau "tobrut" kerap digunakan untuk mengobjektifikasi tubuh perempuan, mencerminkan budaya patriarki yang masih mengakar.
Penelitian SAFEnet (2024) mencatat peningkatan tajam kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia, dengan 480 kasus dalam triwulan naik empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Mayoritas korban berusia 18-25 tahun, menunjukkan betapa rentannya perempuan muda dalam ruang digital .
3. Dampak Psikologis dan Sosial
Komentar negatif tidak hanya merusak kesehatan mental, tetapi juga memperkuat stereotip gender. Psikolog Unair, Dr. Ike Herdiana, menjelaskan bahwa pelecehan online dapat menyebabkan trauma, penurunan motivasi, dan rasa tidak aman, terutama pada remaja perempuan. Di sisi lain, tekanan untuk tetap "menarik" di media sosial memicu kecemasan akan standar kecantikan yang tidak realistis.
Ironisnya, konten sensual juga menjadi alat pemberdayaan bagi sebagian perempuan. Akun @tabu.id di Instagram, misalnya, berhasil memicu diskusi terbuka tentang pendidikan seksual, meski kontennya kerap dianggap tabu. Sayangnya, respons netizen lebih fokus pada aspek sensual daripada pesan edukatif yang disampaikan.
4. Dilema Regulasi dan Budaya Patriarki
Anonimitas media sosial memberi ruang bagi pelaku KBGO untuk lolos dari hukuman. Minimnya regulasi spesifik dan kurangnya kesadaran aparat penegak hukum memperparah situasi. Di sisi lain, objektifikasi perempuan tidak hanya datang dari laki-laki-perempuan lain juga turut memperkuat stigma melalui komentar yang merendahkan.
Dewanto Samodro, dosen UPN Jakarta, menegaskan bahwa akar masalah ini adalah sistem patriarki yang telah mengakar dalam budaya. Perubahan hanya mungkin terjadi melalui pendidikan gender yang inklusif dan kesadaran kolektif untuk tidak menormalisasi pelecehan.
5. Menuju Ruang Digital yang Lebih Aman
Untuk mengurangi objektifikasi, diperlukan langkah multidimensi:
- Regulasi ketat: Memperkuat hukum terkait KBGO dan menyediakan mekanisme pelaporan yang efektif.
- Pendidikan seksual: Menggunakan platform seperti @tabu.id untuk meningkatkan literasi gender dan reproduksi.
- Kampanye kesadaran: Mendukung konten yang memberdayakan perempuan tanpa mengorbankan martabatnya.
- Peran komunitas: Membangun solidaritas antarperempuan untuk melawan stigma dan saling mendukung.
Konten sensual perempuan di media sosial adalah cermin ambivalensi zaman: di satu sisi menjadi ruang ekspresi dan pemberdayaan, di sisi lain terjebak dalam jerat objektifikasi. Komentar tidak edukatif yang mengiringinya bukan sekadar masalah individu, tetapi kegagalan sistemik dalam menghargai perempuan sebagai subjek utuh. Perubahan harus dimulai dari kesadaran bahwa setiap tubuh perempuan adalah miliknya sendiri bukan komoditas untuk dinikmati atau dihakimi.
Posting Komentar untuk "Dibalik Konten Sensual Perempuan di Media Sosial, Antara Ekspresi Diri dan Jerat Objektifikasi"
Posting Komentar